c, untuk Cikuray
Tetapkan tujuan tak tergoda rayuan.
Kelam bukan berarti tenggelam.
Tak ada cerah yang merekah indah, tanpa basah dan gelisah.
Karena kamu adalah orang terpilih.
-sajak pengelana-
kamis 28 Juli 2011
Sejatinya siang ini kami sudah duduk manis di bus menuju garut sesuai rencana awal, namun rencana dapat berubah seketika..ya, karena sehari sebelumnya saya mesti ke ibukota untuk urusan pekerjaan, rencana berikutnya pun ikut berubah, hal yg sama juga dialami rekan lainnya, ada yang mengurusi kerjaan yang tertunda lah, ada sesi pemotretan luar kota lah, dan urusan pribadi lain. Dan begini akhirnya, pukul 14.30 WIB kami baru meninggalkan bandung dengan bus kecil jurusan bandung-singaparna, dan
molor beberapa jam dari jadwal awal.
Kami memilih bus jurusan Bandung-Singaparna karena dengan bus kecil ini kami tak perlu repot-repot turun di terminal Guntur, Kabupaten garut dan menyambung dengan angkot, cukup membayar Rp 15.000,-/ orang kami langsung turun di lokasi awal pendakian yaitu Desa Dayeuh Manggung. Dari sisi biaya perhitungannya sama saja, jika memakai bus jurusan garut ongkosnya Rp 10.000,- dan dari terminal Guntur menyambung dengan angkot ongkosnya Rp 4000,-, namun de4ngan satu angkutan jadinya lebih efisien.
Bus yang kami tumpangi tiba di daerah Cilawu menjelang magrib dan disambut rintik hujan saat memasuki daerah ini, tujuan berikutnya adalah mencari warung nasi, karena semenjak dari bandung perut ini belum diisi. Setelah puas mengisi perut dan membeli beberapa logistik yang kurang, pukul 20.00 WIB kami memulai perjalanan dengan berjalan kaki menuju Tower Pemancar melewati perkebunan Dayeuh Manggung yang jaraknya sekira 10 km. Jka ingin menempuh perjalanan ke Tower Pemancar memakai angkutan Ojeg cukup mengeluarkan ongkos Rp 30.000,- dan jika malam hari ongkosnya berlipat menjadi Rp 55.000,-.
Hujan gerimis beringsut berganti menjadi kabut, trek yang kami lalui berupa jalan aspal yang kondisi nya tidak terawat yang di bagain-baginanya sudah koyak tergerus kikisan hujan. Setelah menempuh perjalanan sekira 45 menit kami tiba di pos perkebunan Dayeuh Manggung.
Setelah melapor dan menuliskan data, kami diharuskan membayar retribusi Rp 5.000,- / orang, perjalanan menuju tujuan kami menurut petugas penjaga tadi jaraknya bisa ditempuh 2 jam dengan kondisi jalan santai, (untuk waktu normal silahkan kalikan 2, karena 2 jam tadi adalah versi orang lokal yang terbiasa jalan). Trek berikutnya dari pos ini adlah Jalur perkebunan teh. Patokan kami adalah lampu-lampu pemancar di seberang punggungan sana karena tantangan lain berjalan di perkebunan teh malam hari adalah tidak ada penanda alam yang dapat dijadikan patokan, beberapa kali kami tersasar dan melipir punggungan. Dengan melihat kondisi cuaca yang beringsut dari gerimis menjadi deras, serta faktor fisik yang semakin turun diputuskan untuk membuat camp di tengah kebun teh.
Jumat 29 Juli 2011
Dini hari tadi hujan tak berhenti, ketika pagi, kondisi sekeliling tempat kami mendirikan bivoac tertutup kabut tebal. Beberapa warga melintas di jalanan tempat camp kami, ada pemetik teh, pencari kayu dan pemburu babi hutan yang lengkap disertai dengan anjingnya. Setelah sarapan pukul 08.00 WIB kami memulai perjalanan . Trek yang dilalui masih area perkebunan teh, kondisi jalanannya lebar berbatu, dengan pertimbangan jarak menuju Tower Pemncar yang makin jelas terlihat, akhirnya kami memilih untuk potong kompas dengan resiko jalur yang ditempuh menjadi lebih terjal dengan kemiringan 70 derajat serta berpasir karena melewati kebun penduduk, dan akhirnya kami tiba di Tower Pemancar pukul 12.00 WIB. Di pos ini kami makan siang dan mengisi penuh wadah air, karena di sini adalah tempat terakhir sumber air di Gn. Cikuray.
Menu makan siang kali ini adalah sereal, biskuit, dan kopi …yeah yeah .. Kami butuh banyak energi karena jalur berikutnya adalah punggungan terjal yang gagah berdiri di belakang kami. Tampak batas ladang dan hutan. Kondisi cuaca cerah ceria siang ini, biru langit menanungi, hijaunya kebun teh serta coklatnya tanah ladang yang habis dipanen para petani. Bersama kami saat itu ada dua rombongan pendaki, 3 orang dari Jakarta dan 9 orang dari Bekasi, rupanya Gunung ini menjadi favorit pilihan pendakian di kawasan Garut selain Gn. Papandayan.
Gunung ini berada di posisi kedua setelah Gn.Ceremai yang menyandang predikat gunung tertinggi di Jawa Barat dengan ketinggian 2.818 m.d.p.l. Selain itu dengan kondisi treknya, jangan harap akan menemukan banyak bonus dataran disini, sajian kemiringan tanjakan-tanjakan nya bervariasi mulai dari 30 derajat hingga yang mesti memerlukan bantuan tangan yaitu 80 derajat. Jika anda orang Bandung dan pernah mendaki Gn. Burangrang atau Manglayang, suasana di sini tak jauh berbeda, begitu pun karakter jalurnya.
Jalur pendakian di sini selebar dua meter dan sangat jelas sehingga memudahkan para pendaki, namun patut diperhatikan percabangan karena di gunung ini banyak tersiar kabar orang yang hilang dan tersesat. Selalu perhatikan tanda di sekeliling jalur dan tentunya membaca cuaca karena jika hujan turun, trek ini yang juga merupakan jalur air karena berupa sungai temporer dengan selokan-selokan tanah merahnya membawa longsoran batu atau tanah dari atasnya. Pukul 17.17 WIB kami memutuskan menghentikan pendakian dan membuat camp, tanpa tenda, haha. Makan malam menu istimewa, sosis dan nasi, minum nya kopi serta susu coklat, tidur lelap hingga pagi.
Sabtu 30 Juli 2011
Sinar matahari menerobos dedaunan, cerah kembali hari ini, dan terdengar di lembahan dan pelosok hutan suara burung tekungkung tengah berdendang. Setelah packing dan sarapan, kami memulai perjalanan pukul 8.30 WIB. Awal perjalanan langsung disuguhi tanjakan terjal, dan berbeda dengan dua kelompok pendaki lainnya yang barengan nge-camp, kami memilih membawa bawaan, tidak lenggang seperti mereka. Selain faktor keamanan, kami berencana untuk memasak makan siang di puncak sebagai bentuk perayaan, dan juga masih memungkinkan untuk membawa peralatan ke puncak.
Dua jam sudah kami lewati namun puncak masih belum terlihat, hingga akhirnya kami sampai di puncak bayangan dan gmabaran puncak sudah jelas terlihat. Kami harus menempuh satu lagi punggungan untuk sampai puncak Cikuray. namun lain halnya jika melalui jalur Bayongbong, kita dapat langsung menuju puncak tanpa harus melipir beberapa punggungan karena jalur tersebut merupakan rute terpendek menuju puncak Cikuray dibanding jalur lainnya, namun memiliki tingkat kemiringan yang ekstrim, ya beginilah kondisi alam, sangat adil.
Dan setelah tiga puluh menit berjalan dari puncak bayangan, tibalah kami di puncak Cikuray. Di puncak ini terdapat bangunan beton berukuran 3x2,5 m dengan kondisi tidak terawat dengan banyak coretan di dindingnya. Bangunan ini biasanya dijadikan tempat camp bagi mereka yang bermalam di puncak. Dari ketinggian ini terlihat Gn. Papandayan di sebelah Barat laut yang berdiri gagah menampakkan jelas dinding kawahnya.
Kota Garut membentang di Utara dengan latar belakang Gn. Guntur dan Gn.Kamojang. Di sebelah timur dan tenggara terlihat Gn. Galunggung serta Gn.Ciremai yang sebagiannya tertutup lautan awan, dan Samudera Indonesia terbentang di sebelah selatan menampakan garis pantainya. Setelah mengambil gambar dan memasak, pukul 14.00 WIB kami turun dengan mengambil rute yang sama yaitu Tower Pemancar. Perjalanan turun lebih melelahkan dibandingkan dengan naik karena dengan karakter jalur seterjal ini otomatis kami harus ektra hati-hati menahan berat badan agar tidak terjatuh atau tergelincir. Jalur ini persis berada di urat punggungan yang kanan kirinya jurang curam. Dan setelah berjalan dengan kekuatan yang makin menipis, akhirnya pukul 17.30 WIB kami tiba di Tower Pemancar dan sejenak beristirahat untuk menyeduh kopi panas.
peserta pendakian: mariyanto 'sentot' Mussoli; Cundasatria Koesoemadinata; Yandi 'Dephol'; jana silniodi
*cerita di cikuray nanti berlanjut, tentang "gogolosoran" dan "munggahan untuk idaman hati"